RAMADHAN DAMAI MENDAMAIKAN DAN CINTA MENCINTAI

Muhammad Sirojuddin Cholili, S.Ag. M.HI (Penyuluh Agama Islam Kecamatan Mojosari)
Tujuan puasa agar bertaqwa. Ketaqwaan adalah tempatnya dihati , dan ciri orang bertaqwa ada pada prilakunya. Dan prilaku orang bertaqwa sebagaimana ada dalam Huruf TAQWA itu sendiri Tak (Tawadlu’) artinya Rendah hati, Qaf (Qana’ah) artinya menerima kenyataan, Wawu (wiqoyah) artinya mampu menahandiri dari hal-hal yang dilarang Allah dan Rasulnya, Alif (ulfah) artinya cinta damai. Dan Makna puasa juga adalah untuk bisa merasakan lapar yang dirasakan saudara kita yang miskin.
Ramadhan adalah bulan berbagi. Saling memberi dan berbagi dibulan ini meningkat drastis, ada pembagian takjil, buka puasa, bahkan di bulan ini pula ummat islam diwajibkan membayar zakat fitrah. Maka tepat lah jika Ramadhan adalah bulan damai yang mendamaikan, bulan cinta dan mencintai, kasih dan saling menyayangi/
99 Asmaul Husna diawali dengan Ar Rahman Ar Rahim. Didalam al Quran Ar Rahman disebut 57x dan Ar Rahim 114, dan nama arrahman arrahim mendominasi dibanding nama Allah lainnya.
Rasulullah saw sendiri adalah Raufurrahim: penyantun dan penyayang (QS. At Taubah 128-129)
RasüluLlãh SAW bersabda:
"ORANG-ORANG YANG PENGASIH AKAN DIKASIHI OLEH SANG MAHA PENGASIH TABÃRAKA WATA'ÃLÃ. KASIHILAH MEREKA YANG DI BUMI, MAKA AKAN MENGASIHIMU MEREKA YANG DI LANGIT."
Seseorang yang hatinya penuh cinta, dipastikan seseorang tersebut lembut penuh kasih dan sayang.
Cinta sangat dibutuhkan dalam kesuksesan hidup. Dan Cinta tertinggi yang ia maksud di sini adalah cinta kepada Allah dan Rasul-NYA yang nantinya membuat seorang hamba cinta kepada sesama. Cinta tidak dapat dipisahkan dari gerak-gerik kehidupan sehari-hari, baik yang berhubungan dengan diri sendiri ataupun orang lain. Bahkan rasa cinta inilah yang menjadi kunci utama kesuksesan hidup.
Dalam menegur, mengingatkan, menasehati dan amar ma’ruf nahi mungkar pun dasarnya adalah cinta kasih,
Setidaknya ada 2 alasan mengapa seseorang saat menegur/ menasehati agar didasari cinta (cinta Allah dan Nabi) ;
Pertama, Bahwa kata-kata yang penuh retorika dan penjelasan yang menggunakan argumentasi top markotop (tingkat tinggi) tidak akan pernah memberi hidayah (kesadaran) kepada sami’in (para pendengar) untuk melakukan hal yang disampaikan. Sebab, kata-kata tersebut hanya sampai ke telinga dan mentok sampai ke pikiran saja. Sedangkan yang menggerakkan kesadaran seseorang untuk melakukan sesuatu adalah hati. Di sinilah cinta dibutuhkan. Agar ucapan seorang mengingatkan sampai ke hati pendengar dan membuat hati mereka tergugah untuk melakukan apa yang disampaikan. Karena hatilah yang bisa berbicara kepada hati, perasaanlah yang bisa menyadarkan perasaan
Al Kisah dari Sufyan ats-Tsauri: “Suatu hari, beberapa Ulama diundang datang ke istana Harun ar-Rasyid. Ketika kita semua sudah berkumpul, tiba-tiba datanglah Fudhail bin ‘Iyyadh dalam keadaan menutup wajahnya dengan sorban. Kemudian ia bertanya kepadaku: “Yang manakah Harun ar-Rasyid?”. Kujawab: “Itu lho (seraya menunjuk sang kholifah)”. Lalu ia menatap sang raja seraya berkata: “Wahai yang berparas indah! engkaulah yang menanggung keadaan umat ini dan semua beban ada padamu. Sungguh, Engkau telah menanggung beban yang berat! Maka, bersungguh-sungguhlah!”. Setelah itu, Harun ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya karena mendengar ucapan Fudhail dan menjadikan sang raja termasuk salah satu khalifah yang bisa memajukan dan menyejahterakan umat islam pada saat itu.
Walapun ucapan dari Fudhail sangat simpel dan tidak menggunakan kalimat yang muluk-muluk, namun bisa menembus hati sang Khalifah dan menyadarkannya (karena terselip rasa cinta dalam ucapan sang waliyyullah
Kedua, Seorang mengajak harus membentengi dirinya dengan cinta (kepada Allah dan Rasul-NYA). Bermodalkan ilmu saja (tanpa cinta) biasanya rentan tergoda hal-hal duniawi, sehingga ilmunya akan muspro (tidak berguna). Ia akan meletakkan harta dan tahta di atas ilmu, sehingga ia berani untuk tahlil al-haram (menghalalkan yang haram) dan tahrim al-halal (mengharamkan yang halal).
Golongan kedua ini tergambar jelas dalam kisah Ibnu Saqo, salah satu teman Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. yangmengisahkan
Ibnu Saqo adalah seorang alim yang diakui keilmuannya oleh para Ulama. Namun tujuannya dalam mencari ilmu dan berdakwah bukanlah ikhlas untuk Allah dan Rasul-NYA, melainkan agar mendapatkan harta, wanita dan tahta sebanyak-banyaknya. Suatu hari, ia diperintah oleh khalifah dari daerah frank (sekarang prancis) untuk berdebat dengan kaum Nasrani di salah satu daerah kekuasaannya (supaya mereka masuk Islam). Lalu Ibnu Saqo tinggal di istana raja yang beragama Kristen di sana.
Sang raja memerintah anak perempuannya untuk berdadan secantik mungkin dan melayani Ibnu Saqo. Karena sering bertemu, Ibnu Saqo tertarik dengan anak raja dan ingin menikahinya, namun sang raja menolak kecuali Ibnu Saqo mau masuk agama Nasrani. Akhirnya, Ibnu Saqo masuk agama Nasrani. Kemudian, bukannya dinikahkan dengan anak raja, Ibnu Saqo malah diusir dengan tidak terhormat dari kerajaan dan dibuang ke konstatinopel (waduh, kasian ya!). Begitulah balasan Allah bagi orang-orang yang menjual agama dengan kenikmatan duniawi dan melakukan kebaikan bukan didasari dengan cinta kepada-NYA.
Akhirnya, Puasa ramadhan yang dilaksanakan dengan imanan wahtisaban akan memunculkan Ulfah Cinta (kepada Allah dan Rasul-NYA), welas asih dan damai pada sesama dan makhluk Allah swt lainnya,
Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang senantiasa menyertakan rasa cinta dan welas asih dalam setiap keadaan. Amin.